Minggu, 16 Desember 2012

Lanjutan Kisah “Bapak Tua Penjual Amplop Itu”

source: http://rinaldimunir.wordpress.com/2011/11/28/lanjutan-kisah-bapak-tua-penjual-amplop-itu/

Tulisan saya yang terdahulu yang berjudul Bapak Tua Penjual Amplop Itu ternyata mendapat respon yang luar biasa dari pembaca. Setelah saya lihat statistik di Worpress ternyata tulisan tersebut sudah dibaca puluhan ribu kali dan tanggapan komentar hingga hari ini mencapai 336 buah. Saya sendiri tidak menyangka atas respon yang luar biasa tersebut, sebab tulisan ini hanyalah sekadar catatan kecil yang biasa saya tulis dari pengalaman yang saya temui.


Banyak yang bertanya kepada saya bagaimana caranya memberikan sedekah atau sumbangan buat bapak tua itu. Saya sendiri juga belum tahu teknis pengumpulan dan pemberian sedekah tersebut, karena maksud tulisan tersebut bukanlah untuk mengumpulkan infaq/shadaqoh buat si bapak. Pertanggungjawabannya nanti juga agak susah, tetapi yang lebih saya khawatirkan (mudah-mudahan saja tidak terjadi) adalah perubahan sikap si bapak yang karena sedekah yang berturut-turut tersebut khawatir membuat dia salah menafsirkan sehingga timbul sikap “mengemis” belas kasihan dengan menjual amplop.

Mudah-mudahan tidak begitu ya, tetapi mohon maaf saya belum bisa menyalurkan sumbangan, silakan salurkan sedekah ke lembaga amil terdekat dari Masjid Salman seperti Rumah Amal Salman ITB atau PKPU. Saya tetap punya pendapat bahwa cara terbaik membantu bapak itu adalah membeli jualannya, kalaupun melebihkan uang pembelian tidak apa-apa. Untuk urusan modal usaha dan perbaikan taraf hidup si bapak, biarlah itu tugas lembaga amil zakat tadi. Kalaupun anda jauh dari Bandung dan tidak bisa membeli amplopnya, anda masih bisa membeli dagangan orang-orang dhuafa di lingkungan terdekat anda. Masih banyak orang kecil lainnya dis ekitar kita yang membutuhkan perhatian. Tetapi sekali lagi, terima kasih atas semua niat baik, mudah-mudahan Allah SWT sudah membalas niat baik itu dengan pahala.

Seorang mahasiswa ITB aktivis Masjid Salman ITB, Romi Hardiyansyah, mencoba menemui bapak penjual amplop dan mewawancarainya di kantor Rumah Amal Salman ITB. Laporan wawancaranya itu dia muat di akun fesbuknya. Saya minta izin memuat hasil wawancara itu di dalam blog ini, sebagai informasi yang lebih lengkap tentang bapak penjual amplop. Banyak yang masih penasaran seperti apa bapak itu dan bagaimana hidupnya. Yang jelas bapak tua itu masih setia berjualan di depan gerbang kampus ITB atau di depan gerbang Masjid Salman, tidak hanya hari Jumat tetapi sekali-sekali pada hari yang lain.

Di bawah ini tulisan Romi Hardiyansyah yang dimuat di dalam http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150390709462123

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bapak Penjual Amplop

Setelah membaca catatan dari salah seorang dosen ITB melalui website pribadinya, saya mencoba menggali lebih dalam tentang bapak penjual amplop ini. Yang saya tahu bahwa bapak ini hanya berjualan setiap hari jumat saja di pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Namun, ketika hari selasa saya mendapatkan laporan dari salah seorang rekan bahwa bapak penjual amplop ini menjajakan dagangannya di salah satu gerbang keluar ITB. Saya tidak menemuinya karena jadwal kuliah yang padat. Barulah ketika rabu, 23 Nopember 2011, sepulang kuliah sekitar pukul 12.00, saya menemuinya di tempat biasa ia menjajakan amplop-amplopnya, yaitu di depan pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Saya berniat untuk menemuinya setelah saya melaksanakan shalat zhuhur.

Sekitar pukul 13.00, saya dan Kang Dadan (karyawan Rumah Amal Salman-ITB) bergegas menuju pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Kang Dadan ada keperluan untuk menyampaikan amanah infaq salah seorang jamaah di Jakarta kepada beliau sementara saya memang berkeperluan untuk bercakap-cakap dan membeli amplopnya. Kami meminta beliau merapikan dagangannya dan mau berbincang-bincang dengan kami di salah satu ruangan di kantor Rumah Amal Salman-ITB. Alhamdulillah beliau mau dan segera mengemas amplop-amplopnya. Selama mengemas amplop-amplopnya, kami menerima banyak komentar dari para pedagang-pedangang lain di sekitar.

Menurut para pedagang, tidak sedikit orang yang membeli satu atau dua amplop tapi dibayar seharga Rp 5.000, Rp 20.000, bahkan Rp 50.000. Si Bapak justru sering berkata kepada para pembeli bahwa uang yang diberikannya kelebihan. Namun, para pembeli mengatakan agar diambil saja lebihnya.

Setelah bercakap-cakap dengan para pedagang sekitar, si Bapak ini pun siap untuk kami ajak ke kantor. Ia membawa tas besarnya pada bahu sebelah kiri dan menjinjing plastik berisi amplop dengan tangan kanannya. Tibalah kami di salah satu ruangan di kantor Rumah Amal Salman-ITB dan mulailah percakapan kami. Sebenarnya selama perjalanan ke rumah amal pun kami bercakap-cakap di jalan.

Namanya Suhud, lahir di Tasikmalaya 76 tahun yang lalu. Ayahnya asli Tasikmalaya sedangkan Ibunya asli Kuningan. Bapak yang sudah hidup tiga perempat abad ini suka merantau kesana kemari semasa mudanya hingga sekarang tinggal menetap bersama anak terakhir dan cucunya di Manggahan, Dayeuh Kolot. Pak Suhud memiliki tiga orang anak yang semuanya laki-laki semua. Anak pertama dan keduanya tidak tinggal bersama Pak Suhud. Semua anaknya memiliki keterbatasan dalam ekonomi sehingga jika beliau menggantungkan diri kepada anaknya, tentu akan susah. Dari sinilah beliau memutuskan untuk berdagang di usianya yang sudah renta.

Pak Suhud sehari-harinya berjualan amplop. Ya, amplop. Ia hanya berjualan amplop, tidak dengan yang lain. Pak Suhud menjajakan amplop-amplopnya di Pasar Simpang Dago dari pagi sampai siang kemudian dilanjutkan menjajakan amplop-amplopnya di pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Selain itu, Pak Suhud juga menjajakan amplopnya di Sukajadi, Kebun Binatang, dan tempat-tempat lainnya. Beliau baru sekitar sebulan yang lalu menjajakan dagangannya di Salman.

Amplop-amplop tersebut ia ambil dari tetangganya. Kemudian Pak Suhud akan menerima upah sesuai dengan banyaknya amplop yang bisa ia jual. Setoran tersebut tidak dibatasi waktu, boleh kapan saja. Jika pembeli sedang sepi, boleh jadi hari itu tidak setor dulu sampai dengan banyak amplop yang terjual.

Pak Suhud memulai usaha ini dari 2001. Namun karena usianya yang sudah renta, 10 tahun tersebut tidak semuanya digunakan untuk berjualan amplop, terkadang jika sedang capai, ia tidak berangkat mencari nafkah. Sebelum berjualan amplop, Pak Suhud berjualan sayur mayur. Istri Pak Suhud meninggal dunia 6 tahun yang lalu sehingga penghasilan yang beliau dapatkan murni beliau gunakan untuk keperluan hidup beliau sehari-hari. Ketiga anaknya mengetahui bahwa ayahnya ini berjualan amplop untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Pak Suhud berangkat dari rumahnya di Dayeuh Kolot sekitar pukul 03.30 dan pulang menuju rumahnya sekitar pukul 14.00. Beliau menggunakan angkutan perkotaan atau bis kota sebagai sarana transportasinya. Beliau mengatakan lama perjalanan bisa sampai dua atau tiga jam. Sungguh, perjuangan yang sangat hebat bagi laki-laki paruh baya ini.

Penghasilan Pak Suhud sehari-hari jelas tidak menentu. Terkadang tidak ada satu pun amplop yang terjual sehingga untuk kembali pulang ia biasanya meminjam uang pada pedagang-pedagang sekitar dan berjanji akan menggantinya jika nanti amplopnya ada yang membeli. Tetangga yang menjadi tempat setornya tidak mempermasalahkan akan keterlambatan setoran, jelas beliau. Beliau menambahkan ongkos pergi-pulangnya tiap hari sebesar Rp 12.000, padahal penghasilannya tiap hari belum tentu sebesar itu. Pada siang hari, Pak Suhud biasa makan di tempat makan yang beliau katakan murah harganya. Pemilik rumah makan sering mengatakan bahwa jika beliau ingin makan, silakan datang saja tanpa perlu membayar.

Beliau mengambil 100 amplop dari tetangganya seharga Rp 7.500 dan ia menjualnya seharga Rp 10.000. Artinya, untuk 100 amplop yang terjual, ia hanya mendapatkan untung Rp 2.500 saja. Jika dipikir-pikir, siapa yang mau membeli amplop sebanyak itu? Kalau pun ada yang membelinya, keuntungan yang beliau peroleh jelas tidak bisa digunakan untuk makan nasi sekalipun. Allahu a’lam. Ketika ditanya kenapa memilih berjualan amplop, ia hanya menjawab sngkat saja, karena amplop ringan, masih bisa beliau bawa dibandingkan jika beliau berdagang yang lainnya.

Karena usianya yang sudah tua, tentu fisiknya pun tidak lagi seperti anak muda. Pak Suhud mengatakan bahwa matanya kini telah kurang awas (rabun), pendengarannya kurang berfungsi dengan baik, dan dadanya sering pengap. Saya memerhatikan, beliau berbicara dengan suara yang lirih sekal dan tangan yang benar-benar gemetar baik di kala berbicara, di kala merapikan amplop-amplopnya, di kala membawa tas, dan lainnya.

Dalam keadaan yang seperti itu, Pak Suhud tetap tegar untuk menjaga kehormatannya dengan tidak meminta-minta. Begitu pula yang dikomentarkan para pedagang di sekitar pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Mereka menambahkan, banyak yang badannya masih bujangan, perkasa, gagah, dan kuat, namun meminta-minta. Kami menutup pembicaraan siang itu dengan menyampaikan amanah infaq dari Rumah Amal Salman-ITB.

Sebenarnya, ketika awal sampai akhir perbincangan saya berusaha menahan air mata agar tidak keluar karena mendengar suara Pak Suhud yang begitu lirih dan tangannya yang gemetaran. Terima kasih Pak Suhud. Darimu, saya belajar sebuah perjuangan..

Semoga kelapangan dan keberkahan rezeqi menyertaimu Pak. Dan Allah, tidak akan menyiakan hamba-hamba-Nya..

Bandung, 23 Nopember 2011

Romi Hardiyansyah
0852 842 39760/aemrum@gmail.com

(Update tanggal 20 Januari 2012: tulisan ketiga tentang Bapak penjual amplop ini dapat dibaca pada posting-an berikut: http://rinaldimunir.wordpress.com/2012/01/20/bapak-penjual-amplop-itu-rajin-shalat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar